“sometimes, talking to your bestfriend is the
only therapy you need…”
Sepenggal frase di atas cukup menggambarkan bahwa kodrat
manusia sebagai makhluk sosial adalah penting. Manusia mempunyai kebutuhan
untuk melakukan interaksi dengan makhluk lain. Entah itu untuk memberikan
kesenangan, mengusir rasa sepi, meningkatkan eksistensi, memenuhi kebutuhan atau
hal-hal lainnya yang menjadi alasan mengapa manusia berinteraksi dengan manusia
lainnya. Menjadi makhluk sosial dan berinteraksi dengan orang lain
sebenarnya adalah salah satu tugas perkembangan manusia. Sejak kita memasuki
masa anak-anak awal, akan ada sesuatu dalam diri kita yang mendorong untuk
menjalin hubungan pertemanan.
Saat ini, berapa usia Anda? 16? 24? 32? atau 48 tahun?
Bisa kah anda mengingat sudah berapa orang teman yang anda miliki? Bisa kah
anda menyebutkan jumlahnya? Baiklah, sekarang coba sebutkan satu nama teman
Anda yang diawali dengan huruf M. Bisakah anda menjelaskan kapan pertama kali
kalian bertemu? Seperti apa situasi saat kalian bertemu? Itu baru satu orang
“M” yang anda sebutkan, mungkin masih banyak “M” lain yang anda kenal dan
menjadi teman anda saat ini, belum lagi si “L”, si “B” dan teman-teman anda
yang lain. Berkenalan dan berteman dengan mereka merupakan ‘proses’ yang luar biasa
yang telah Anda lalui.
Seiring dengan bertambahnya usia, kita akan menjumpai
satu, dua, delapan belas bahkan berpuluh-puluh orang baru yang akan menjadi
teman kita. Kita mungkin akan menjumpai mereka saat kita lagi berada di taman
bermain, gang depan rumah, halte bus atau tempat langganan meminjam komik.
Pertemuan dengan teman baru pun bisa dalam keadaan sangat beragam. Mungkin
suatu hari kita akan berjumpa dengan teman saat kita sedang sama-sama kesal
karena terlambat datang sekolah dan gerbang sudah dikunci oleh satpam sekolah, dan
kita mungkin bisa bertemu dengan dengan teman saat kita sama-sama sedang
merayakan kelulusan Ujian Nasional di Taman Kota, atau kita bisa saja menjumpai
teman kita ketika kita sedang bersedih memikirkan mantan kekasih di sebuah café
dan ia satu-satunya orang yang menawarkan diri duduk bersama dan membuat kita
tersenyum kembali. Begitu banyak cara kita dipertemukan dengan teman-teman baru
dalam hidup kita. Satu pertemuan mungkin memang telah direncanakan, tapi banyak
pertemuan lainnya yang tidak pernah kita sangka. Teman yang kita temui
sepanjang rentang kehidupan ini lah yang juga akan membawa warna dalam cerita
kehidupan kita.
Setiap orang rasanya harus punya satu orang lain yang
selalu bisa diandalkan, atau minimal mau selalu berbagi dan mendengarkan, orang
seperti ini pantas kita panggil dengan sebutan sahabat. Nah, di antara sekian
banyak teman yang kita miliki, pastilah kita memiliki sahabat atau teman dekat.
Saat ini saya berusia 25 tahun. Saya mempunyai teman dari
berbagai kalangan. Ada teman-teman yang masih sangat jelas saya ingat bagaimana
awal bertemu dengannya, tetapi tidak sedikit teman yang hanya saya ingat wajah tetapi
melupakan namanya. Jika saya harus menyebutkan darimana saja saya bertemu
dengan mereka, mungkin saya harus menulis buku sendiri. Pun sahabat. Saya
sangat bersyukur dikelilingi sahabat-sahabat yang saya temui ketika saya duduk
di bangku SMP, SMA, perkuliahan S1 & S2, bahkan sahabat yang saya temui di
luar pergaulan pendidikan saya. Saya menyadari betul bahwa hidup tidak hanya me, my self and I. Orang-orang di
sekitar saya, teman dan sahabat, membawa banyak cerita dan pengaruh atas hidup
saya. Tidak. Teman saya tidak semuanya orang baik. Dulu di bangku SMA, saya
pernah berteman dengan orang yang mengajak saya mengenakan headset selama jam pelajaran Sejarah berlangsung. Ketika S1, saya
juga berteman dengan orang yang setiap mata kuliah Psikologi Sosial selalu
mengajak saya titip absen dan bolos
saja. Bahkan, saya sebagai teman bagi mereka, juga sering mengajak mereka
menunda mengerjakan tugas dan lebih memilih karaoke atau mengobrol membicarakan
akun instagram seseorang ketika dosen sedang menjelaskan. Karena seperti itulah
pertemanan, akan ada pengaruh yang dibawa bagi masing-masing individu yang
berteman. Mempengaruhi atau dipengaruhi. Entah itu pengaruh baik atau buruk.
Tetapi tenang saja, karena kita manusia dikaruniai akal pikiran. Manusia yang
ingin tercium bau wangi tentu lebih memilih berada di dekat tukang parfum
daripada di dekat tukang sampah.
Pentingnya peran teman, banyak saya jumpai pada kasus
beberapa klien saya. Contohnya, ketika saya sedang menjalani Praktik Kerja Profesi
Psikolog di Rumah Sakit Jiwa di daerah Klaten, Jawa Tengah, saya menjumpai satu orang
pasien psikotik laki-laki (sebut saja YP).
YP bukan merupakan pasien rawat inap di RSJ ini, ia adalah pasien rawat jalan,
di mana
minimal satu bulan sekali ia datang ke RSJ untuk melakukan kontrol dan
mengambil obat agar ia tetap stabil. YP pertama kali mengalami gangguan jiwa
saat ia berusia 22 tahun. Usia dimana harusnya ia sedang produktif menghasilkan
karya dan prestasi yang membanggakan. Setelah asesmen lebih lanjut, saya akhirnya
mengetahui bahwa banyak hal dan kejadian pencetus YP mengalami gangguan jiwa
berasal dari lingkungan pertemanannya. YP sebenarnya anak yang berprestasi, ia
menjadi juara kelas selama duduk di bangku SD dan SMP. Namun sayang, YP tidak
‘kuat’ melawan stressor yang datang
dalam perjalanan hidupnya. Ketika SMP, YP mempunyai satu orang teman dekat.
Hanya satu. YP banyak melakukan aktivitas sekolah bersama dengan teman dekatnya
itu. Bahkan, alasan YP semangat bersekolah salah satunya adalah karena ia satu
sekolah dengan teman dekatnya tersebut. Stresor pertama bagi YP adalah ketika
teman dekatnya pindah sekolah. YP tidak mempunyai teman dekat lagi. Pada awal
ditinggalkan oleh teman dekatnya itu YP mengucilkan diri, ia tidak mencoba
bergaul dengan orang baru, ia lebih memilih sendiri sehingga hal ini dianggap
aneh oleh teman-teman YP yang lain dan pada akhirnya YP malah menjadi bahan bully teman-temannya. Tidak sampai di situ, akhirnya YP mencoba
bergaul dengan teman-teman baru. Namun, YP masuk ke dalam pergaulan anak-anak
yang kurang baik. Teman-teman sepermainan YP mengajari YP membolos, merokok dan
minum-minuman keras. Teman sepermainan ini yang pada akhirnya dijadikan YP
sebagai teman dekat. YP mulai kecanduan merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Singkatnya, pergaulan ini menyebabkan prestasi akademik YP menurun secara
drastis, hubungan dengan orangtua menjadi terganggu, dan YP tidak dapat
mewujudkan cita-cita. YP pada akhirnya bekerja sebagai kuli panggul di sebuah
toko plastik. Teman-teman di tempat kerja pun membawa pengaruh yang kurang
baik, malah cenderung menjerumuskan YP ke arah yang sesat, YP mulai
mengkonsumsi shabu-shabu dan ganja
karena pengaruh teman di tempat kerja.
Pergaulan yang seperti ini pada akhirnya mengganggu hubungan sosial YP, baik
dengan keluarga, teman, sahabat maupun lawan jenis. Hal ini lah menjadi salah
satu pemicu YP mengalami gangguan jiwa. YP beruntung karena di lingkungan rumah
masih mempunyai beberapa orang teman yang tetap mendukungnya, meskipun keadaan
YP seperti sekarang. Teman-teman YP di lingkungan rumah ini memberikan
perhatian kepada YP, mereka tidak menghindari YP meskipun YP mulai susah untuk
diajak berkomunikasi seperti orang normal lainnya, mereka memperlakukan YP
selayaknya YP adalah orang yang tidak terganggu jiwanya. Memang hal ini sulit.
Sebagian orang yang melihat apa yang teman-teman rumah YP lakukan adalah hal
yang sia-sia. Tetapi, saya yang melihat langsung hal tersebut mengatakan bahwa
itu memang hal kecil tetapi memberikan dampak yang menuju ke arah baik untuk psikologis
YP.
YP dengan gangguan yang dialaminya ini menunjukkan
perilaku paranoid terhadap orang-orang di sekitarnya. YP lebih memilih
mengurung diri di rumah daripada mencoba bersosialisasi karena ada ketakutan
yang ia rasakan saat ia berjumpa dengan orang lain. Saya sebagai terapis baru
yang pernah mendampingi YP, tidak terlalu membawa banyak perubahan terhadap
gejala-gejala gangguan yang dialaminya. Hanya saja, saya pernah memberikan
tritmen berupa melatih YP untuk mulai mau keluar rumah dan berinteraksi dengan
teman-teman lamanya tersebut. Pada awalnya susah, karena ketika saya mengajak
YP keluar rumah saja (belum bertemu dengan orang lain) YP mulai menunjukkan
ketidaknyamannya. Hal ini jelas terjadi karena gangguan jiwa yang dialami YP
pencetusnya banyak berasal dari lingkungan sosialnya. Namun, lama-kelamaan,
saya bisa mendorong YP untuk duduk berkumpul dengan teman-teman di sekitar
rumahnya. Lalu, apa kah teman-teman YP ikut andil memberikan tritmen? Ya.
Tritmen seperti apa? Duduk berkumpul, bermain gitar, adu catur, bernyanyi dan mengobrol
saling melemparkan candaan khas lelaki seusia mereka. Ya, sesederhana itu saja.
Saya meyakini, interaksi yang dilakukan YP dengan teman-teman selama mereka
berkumpul adalah bagian dari healing
itu sendiri, proses menyembuhkan. Teman-teman YP memang bukan psikolog atau
psikiater yang paham seperti apa dinamika sakit yang dialami YP, mereka juga
tidak tahu obat apa yang membantu YP mengurangi gejala sakitnya. Mereka tidak
tahu apa-apa tentang itu, tapi mereka adalah teman-teman YP. Mereka orang yang
mau meluangkan waktu duduk bersama YP, menerima seperti apa kondisi YP saat ini
dan mereka juga yang sangat ingin YP sehat dan lebih sering menghabiskan waktu
bersama mereka. Hal kecil dan sederhana, tetapi dari sini YP setidaknya mulai
bisa mengekspresikan emosinya, YP kembali bisa tertawa mengejek saat ada
temannya yang diejek atau bahkan meninggikan nada biacara saat ia yang diejek, YP
mulai kembali bisa becerita tentang wanita yang disukai dan YP mulai sering
membuka pintu rumah untuk keluar berjalan ke tempat teman-temannya nongkrong.
Hanya perubahan kecil. Tetapi bukankah pohon yang besar dan rimbun juga tumbuh
dari sebuah benih yang kecil?
Hal yang terjadi pada YP hanya sebuah contoh betapa
sebuah pertemanan bisa membolak-balikkan dunia seseorang. Kita bisa dengan
mudah berjabat tangan dengan orang baru, kemudian menjadikannya teman, bahkan
sahabat. Semudah kita bisa melupakan siapa saja orang baru yang kita temui
beberapa jam yang lalu. Kehadiran kita bagi orang lain, kehadiran orang lain
bagi kita adalah penting. Kita kadang hanya diam saat teman kita menceritakan
keluh kesahnya, kadang juga kita memasang ekspresi datar saat teman kita
bersemangat menceritakan kebahagian, dan kadang kita tidak berbuat apa-apa saat
teman kita meraung-raung menangis. Tapi percayalah, ketika kita ada di dekat
mereka, ketika kita ditemani teman atau sahabat kita, itu sudah cukup. Itu
sudah menyembuhkan.
"Setiap orang rasanya harus punya satu orang lain yang selalu bisa diandalkan, atau minimal mau selalu berbagi dan mendengarkan, orang seperti ini pantas kita panggil dengan sebutan sahabat" |