Jadilah teman yang baik!

11.23

sometimes, talking to your bestfriend is the only therapy you need…

Sepenggal frase di atas cukup menggambarkan bahwa kodrat manusia sebagai makhluk sosial adalah penting. Manusia mempunyai kebutuhan untuk melakukan interaksi dengan makhluk lain. Entah itu untuk memberikan kesenangan, mengusir rasa sepi, meningkatkan eksistensi, memenuhi kebutuhan atau hal-hal lainnya yang menjadi alasan mengapa manusia berinteraksi dengan manusia lainnya. Menjadi makhluk sosial dan berinteraksi dengan orang lain sebenarnya adalah salah satu tugas perkembangan manusia. Sejak kita memasuki masa anak-anak awal, akan ada sesuatu dalam diri kita yang mendorong untuk menjalin hubungan pertemanan.

Saat ini, berapa usia Anda? 16? 24? 32? atau 48 tahun? Bisa kah anda mengingat sudah berapa orang teman yang anda miliki? Bisa kah anda menyebutkan jumlahnya? Baiklah, sekarang coba sebutkan satu nama teman Anda yang diawali dengan huruf M. Bisakah anda menjelaskan kapan pertama kali kalian bertemu? Seperti apa situasi saat kalian bertemu? Itu baru satu orang “M” yang anda sebutkan, mungkin masih banyak “M” lain yang anda kenal dan menjadi teman anda saat ini, belum lagi si “L”, si “B” dan teman-teman anda yang lain. Berkenalan dan berteman dengan mereka merupakan ‘proses’ yang luar biasa yang telah Anda lalui.
Seiring dengan bertambahnya usia, kita akan menjumpai satu, dua, delapan belas bahkan berpuluh-puluh orang baru yang akan menjadi teman kita. Kita mungkin akan menjumpai mereka saat kita lagi berada di taman bermain, gang depan rumah, halte bus atau tempat langganan meminjam komik. Pertemuan dengan teman baru pun bisa dalam keadaan sangat beragam. Mungkin suatu hari kita akan berjumpa dengan teman saat kita sedang sama-sama kesal karena terlambat datang sekolah dan gerbang sudah dikunci oleh satpam sekolah, dan kita mungkin bisa bertemu dengan dengan teman saat kita sama-sama sedang merayakan kelulusan Ujian Nasional di Taman Kota, atau kita bisa saja menjumpai teman kita ketika kita sedang bersedih memikirkan mantan kekasih di sebuah café dan ia satu-satunya orang yang menawarkan diri duduk bersama dan membuat kita tersenyum kembali. Begitu banyak cara kita dipertemukan dengan teman-teman baru dalam hidup kita. Satu pertemuan mungkin memang telah direncanakan, tapi banyak pertemuan lainnya yang tidak pernah kita sangka. Teman yang kita temui sepanjang rentang kehidupan ini lah yang juga akan membawa warna dalam cerita kehidupan kita.

Setiap orang rasanya harus punya satu orang lain yang selalu bisa diandalkan, atau minimal mau selalu berbagi dan mendengarkan, orang seperti ini pantas kita panggil dengan sebutan sahabat. Nah, di antara sekian banyak teman yang kita miliki, pastilah kita memiliki sahabat atau teman dekat.

Saat ini saya berusia 25 tahun. Saya mempunyai teman dari berbagai kalangan. Ada teman-teman yang masih sangat jelas saya ingat bagaimana awal bertemu dengannya, tetapi tidak sedikit teman yang hanya saya ingat wajah tetapi melupakan namanya. Jika saya harus menyebutkan darimana saja saya bertemu dengan mereka, mungkin saya harus menulis buku sendiri. Pun sahabat. Saya sangat bersyukur dikelilingi sahabat-sahabat yang saya temui ketika saya duduk di bangku SMP, SMA, perkuliahan S1 & S2, bahkan sahabat yang saya temui di luar pergaulan pendidikan saya. Saya menyadari betul bahwa hidup tidak hanya me, my self and I. Orang-orang di sekitar saya, teman dan sahabat, membawa banyak cerita dan pengaruh atas hidup saya. Tidak. Teman saya tidak semuanya orang baik. Dulu di bangku SMA, saya pernah berteman dengan orang yang mengajak saya mengenakan headset selama jam pelajaran Sejarah berlangsung. Ketika S1, saya juga berteman dengan orang yang setiap mata kuliah Psikologi Sosial selalu mengajak saya titip absen dan bolos saja. Bahkan, saya sebagai teman bagi mereka, juga sering mengajak mereka menunda mengerjakan tugas dan lebih memilih karaoke atau mengobrol membicarakan akun instagram seseorang ketika dosen sedang menjelaskan. Karena seperti itulah pertemanan, akan ada pengaruh yang dibawa bagi masing-masing individu yang berteman. Mempengaruhi atau dipengaruhi. Entah itu pengaruh baik atau buruk. Tetapi tenang saja, karena kita manusia dikaruniai akal pikiran. Manusia yang ingin tercium bau wangi tentu lebih memilih berada di dekat tukang parfum daripada di dekat tukang sampah.

Pentingnya peran teman, banyak saya jumpai pada kasus beberapa klien saya. Contohnya, ketika saya sedang menjalani Praktik Kerja Profesi Psikolog di Rumah Sakit Jiwa di daerah Klaten, Jawa Tengah, saya menjumpai satu orang pasien psikotik laki-laki (sebut saja YP). YP bukan merupakan pasien rawat inap di RSJ ini, ia adalah pasien rawat jalan, di mana minimal satu bulan sekali ia datang ke RSJ untuk melakukan kontrol dan mengambil obat agar ia tetap stabil. YP pertama kali mengalami gangguan jiwa saat ia berusia 22 tahun. Usia dimana harusnya ia sedang produktif menghasilkan karya dan prestasi yang membanggakan. Setelah asesmen lebih lanjut, saya akhirnya mengetahui bahwa banyak hal dan kejadian pencetus YP mengalami gangguan jiwa berasal dari lingkungan pertemanannya. YP sebenarnya anak yang berprestasi, ia menjadi juara kelas selama duduk di bangku SD dan SMP. Namun sayang, YP tidak ‘kuat’ melawan stressor yang datang dalam perjalanan hidupnya. Ketika SMP, YP mempunyai satu orang teman dekat. Hanya satu. YP banyak melakukan aktivitas sekolah bersama dengan teman dekatnya itu. Bahkan, alasan YP semangat bersekolah salah satunya adalah karena ia satu sekolah dengan teman dekatnya tersebut. Stresor pertama bagi YP adalah ketika teman dekatnya pindah sekolah. YP tidak mempunyai teman dekat lagi. Pada awal ditinggalkan oleh teman dekatnya itu YP mengucilkan diri, ia tidak mencoba bergaul dengan orang baru, ia lebih memilih sendiri sehingga hal ini dianggap aneh oleh teman-teman YP yang lain dan pada akhirnya YP malah menjadi bahan bully teman-temannya. Tidak sampai di situ, akhirnya YP mencoba bergaul dengan teman-teman baru. Namun, YP masuk ke dalam pergaulan anak-anak yang kurang baik. Teman-teman sepermainan YP mengajari YP membolos, merokok dan minum-minuman keras. Teman sepermainan ini yang pada akhirnya dijadikan YP sebagai teman dekat. YP mulai kecanduan merokok dan mengkonsumsi alkohol. Singkatnya, pergaulan ini menyebabkan prestasi akademik YP menurun secara drastis, hubungan dengan orangtua menjadi terganggu, dan YP tidak dapat mewujudkan cita-cita. YP pada akhirnya bekerja sebagai kuli panggul di sebuah toko plastik. Teman-teman di tempat kerja pun membawa pengaruh yang kurang baik, malah cenderung menjerumuskan YP ke arah yang sesat, YP mulai mengkonsumsi shabu-shabu dan ganja karena pengaruh  teman di tempat kerja. Pergaulan yang seperti ini pada akhirnya mengganggu hubungan sosial YP, baik dengan keluarga, teman, sahabat maupun lawan jenis. Hal ini lah menjadi salah satu pemicu YP mengalami gangguan jiwa. YP beruntung karena di lingkungan rumah masih mempunyai beberapa orang teman yang tetap mendukungnya, meskipun keadaan YP seperti sekarang. Teman-teman YP di lingkungan rumah ini memberikan perhatian kepada YP, mereka tidak menghindari YP meskipun YP mulai susah untuk diajak berkomunikasi seperti orang normal lainnya, mereka memperlakukan YP selayaknya YP adalah orang yang tidak terganggu jiwanya. Memang hal ini sulit. Sebagian orang yang melihat apa yang teman-teman rumah YP lakukan adalah hal yang sia-sia. Tetapi, saya yang melihat langsung hal tersebut mengatakan bahwa itu memang hal kecil tetapi memberikan dampak yang menuju ke arah baik untuk psikologis YP.
YP dengan gangguan yang dialaminya ini menunjukkan perilaku paranoid terhadap orang-orang di sekitarnya. YP lebih memilih mengurung diri di rumah daripada mencoba bersosialisasi karena ada ketakutan yang ia rasakan saat ia berjumpa dengan orang lain. Saya sebagai terapis baru yang pernah mendampingi YP, tidak terlalu membawa banyak perubahan terhadap gejala-gejala gangguan yang dialaminya. Hanya saja, saya pernah memberikan tritmen berupa melatih YP untuk mulai mau keluar rumah dan berinteraksi dengan teman-teman lamanya tersebut. Pada awalnya susah, karena ketika saya mengajak YP keluar rumah saja (belum bertemu dengan orang lain) YP mulai menunjukkan ketidaknyamannya. Hal ini jelas terjadi karena gangguan jiwa yang dialami YP pencetusnya banyak berasal dari lingkungan sosialnya. Namun, lama-kelamaan, saya bisa mendorong YP untuk duduk berkumpul dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Lalu, apa kah teman-teman YP ikut andil memberikan tritmen? Ya. Tritmen seperti apa? Duduk berkumpul, bermain gitar, adu catur, bernyanyi dan mengobrol saling melemparkan candaan khas lelaki seusia mereka. Ya, sesederhana itu saja. Saya meyakini, interaksi yang dilakukan YP dengan teman-teman selama mereka berkumpul adalah bagian dari healing itu sendiri, proses menyembuhkan. Teman-teman YP memang bukan psikolog atau psikiater yang paham seperti apa dinamika sakit yang dialami YP, mereka juga tidak tahu obat apa yang membantu YP mengurangi gejala sakitnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang itu, tapi mereka adalah teman-teman YP. Mereka orang yang mau meluangkan waktu duduk bersama YP, menerima seperti apa kondisi YP saat ini dan mereka juga yang sangat ingin YP sehat dan lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka. Hal kecil dan sederhana, tetapi dari sini YP setidaknya mulai bisa mengekspresikan emosinya, YP kembali bisa tertawa mengejek saat ada temannya yang diejek atau bahkan meninggikan nada biacara saat ia yang diejek, YP mulai kembali bisa becerita tentang wanita yang disukai dan YP mulai sering membuka pintu rumah untuk keluar berjalan ke tempat teman-temannya nongkrong. Hanya perubahan kecil. Tetapi bukankah pohon yang besar dan rimbun juga tumbuh dari sebuah benih yang kecil?
Hal yang terjadi pada YP hanya sebuah contoh betapa sebuah pertemanan bisa membolak-balikkan dunia seseorang. Kita bisa dengan mudah berjabat tangan dengan orang baru, kemudian menjadikannya teman, bahkan sahabat. Semudah kita bisa melupakan siapa saja orang baru yang kita temui beberapa jam yang lalu. Kehadiran kita bagi orang lain, kehadiran orang lain bagi kita adalah penting. Kita kadang hanya diam saat teman kita menceritakan keluh kesahnya, kadang juga kita memasang ekspresi datar saat teman kita bersemangat menceritakan kebahagian, dan kadang kita tidak berbuat apa-apa saat teman kita meraung-raung menangis. Tapi percayalah, ketika kita ada di dekat mereka, ketika kita ditemani teman atau sahabat kita, itu sudah cukup. Itu sudah menyembuhkan.

Jangan lupa untuk menjadi teman yang baik!

"Setiap orang rasanya harus punya satu orang lain yang selalu bisa diandalkan, atau minimal mau selalu berbagi dan mendengarkan, orang seperti ini pantas kita panggil dengan sebutan sahabat"

You Might Also Like

0 komentar

Instagram